Kamis, 05 Juli 2012

Kesalahan Sistem Kesejahteraan di Solo Tingkatkan Angka Kemiskinan?



Sumber foto: inilah.com

Hiruk pikuk pesta demokrasi di Jakarta semakin riuh rendah. Pasalnya, hari pencoblosan tinggal beberapa lagi. Namun, apakah kita sudah memiliki calon yang sesuai dengan hati nurani?

Untuk menentukan nasib Jakarta ke depan, bukan sekedar dibutuhkan hati nurani, tapi juga rasionalitas. Karena posisi sebagai pimpinan utama Jakarta ini bukan posisi untuk orang-orang yang masih akan menggunakan metode trial and error, melainkan membutuhkan seorang yang sudah punya solusi. Mungkin ia merasa mampu karena back ground pendidikan, atau bisa jadi karena ia pernah memimpin kota lain dan dikategorikan "sukses". Namun sukses di kampung halaman belum tentu sukses juga di Jakarta lho.

Nah, salah satu bentuk penggunaan rasionalitasnya adalah dengan mempelajari track record dari para calonnya. Penelusuran track record ini bisa membantu para calon pemilih untuk mengenal lebih jauh jagoannya, dan kontribusi apa yang sudah dibuatnya untuk wilayah yang pernah ditinggalinya ataupun yang pernah dipimpinnya sehingga memiliki perubahan berarti. Track record ini bukan sekedar prestasi berupa award yang diperoleh seseorang, tapi juga dengan melihat realitas kekinian wilayah yang pernah didiami atau dipimpinnya.

Seperti Jokowi misalnya. Cagub nomor urut 3 ini yang katanya mau mensejahterakan masyarakat Jakarta dalam janji-janjinya ternyata blunder ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa rakyat miskin di Solo pun bertambah jumlahnya selama dua periode yang dipimpinnya. Salah satu angka yang bisa menunjukkan kenaikan warga miskin di Solo ini adalah melalui jumlah penerima beras untuk warga miskin (raskin) yang semakin bertambah.

Per Juni 2012 saja, peningkatan terjadi dari 1.850 Rumah Tangga Sasaran (RTS) menjadi 3.750 RTS. Data tersebut berdasarkan hasil Pendataan Program Jaminan Sosial (PPJS) Badan Pusat Statistik (BPS) Solo 2011 untuk wilayah Kelurahan Kadipiro, Kecamatan Banjarsari, Solo. Sementara, peningkatan juga terjadi di Kelurahan Semanggi, Kecamatan Pasar Kliwon, Solo. Data sebelum Juni, jumlah penerima Raskin mencapai 69.775 RTS, dan saat ini naik menjadi 88.410 RTS.

Peningkatan angka penerima raskin ini juga diiringi dengan kisruh warga yang merasa tercoret namanya dari daftar penerima. Kisruh ini mungkin terjadi akibat kesalahan sistem kesejahteraan yang diciptakan Jokowi di Solo sehingga menimbulkan banyak peningkatan warga miskin. Karena kalau sistem kesejahteraannya benar, maka fasilitas kesejahteraan seperti beras raskin, kartu sehat, kartu pintar dan lain sebagainya seharusnya menjadi alat penunjang kemajuan kota, bukan malah menjadi bumerang karena warganya menjadi malas dan mengandalkan fasilitas saja. Nah, bagaimana jika ia terpilih lantas salah terapkan sistem juga di Jakarta sehingga meningkatkan angka kemiskinan di kota kita tercinta ini? Jadi, jangan tertipu penghargaannya, tapi lihat kenyataannya!

Selasa, 26 Juni 2012

Jokowi Tinggalkan Jejak Tingginya Angka Narkoba di Solo




Sumber foto: detik.com

penyalahgunaan narkoba kembali menyeruak di Solo. Padahal, baru saja kota ini ditinggalkan pemimpinnya yang mengadu nasib di Jakarta sebagai kandidat calon Gubernur DKI Jakarta. 

Hal ini seperti disampaikan Wakil Kepala Satuan Anti-Narkoba Polisi Resor Kota Surakarta, Ajun Komisaris Polisi Edison Panjaitan kepada harianjoglosemar.com. Bahwa, para terpidana kasus penyalahgunaan narkoba dan obat-obatan terlarang memang mayoritas berusia dewasa. Namun, ia menduga barang haram itu juga banyak beredar di kalangan pelajar dan remaja.

Bahkan menurutnya, tahun lalu saja ditangkap seorang anak SMP yang terjerat narkoba. "Ini harus diwaspadai karena sekarang ditawarkan sabu kemasan simpel dengan harga Rp 100.000,-," katanya pada Upacara Peringatan Hari Antinarkoba Internasional, Senin (25/6).

Belum lagi maraknya minuman keras jenis vodka, whisky, anggur merah dan ciu yang beredar di kota ini yang sebagiannya dimusnahkan secara simbolik oleh kepolisian beberapa waktu lalu. 

Pernyataan pihak kepolisian ini menunjukkan bahwa memang kasus narkoba, obat-obatan terlarang dan miras masih tinggi di Solo. Menjadi paradoks jika Jokowi memiliki concern untuk memajukan kesehatan masyarakat di Jakarta - dengan mengelola anggaran 800 M yang kata Ahok kurang itu - dalam kampanyenya, sementara Solo saja ditinggalkan dengan jejak tingginya angka narkoba.

Kamis, 14 Juni 2012

Istri Jokowi Bagian dari Freemasonry?



Sumber foto: tempo.co

Sekitar empat bulan yang lalu, ketika itu Rotary International tengah berulang tahun ke-107, hal yang menghebohkan ini terjadi. Pada Kamis (23/2), Rotary Club (RC) Solo Kartini melantik anggota baru serta mengangkat anggota kehormatan, dan salah satunya adalah istri Walikota Solo, Iriana Joko Widodo. 

Mengapa menjadi anggota Rotary Club menjadi menghebohkan? Itu reaksi yang wajar. Yang tidak wajar malah jika mereka bereaksi biasa-biasa saja. Karena bisa jadi, yang bereaksi biasa-biasa saja mungkin tidak pernah tau sejarah freemasonry di Indonesia.

Jadi, begini ceritanya:

Freemasonry atau Vrijmerselarij (Belanda) adalah sebuah organisasi persaudaraan internasional. Freemansonry pada zaman modern ini ditandai dengan berdirinya Grand Lodge di London, Inggris pada 1717. Sementara, para peneliti di Barat meyakini bahwa Freemasonry ini sebenarnya sudah ada sejak di Skotlandia pada abad ke-14, ketika Ksatria Templar ditumpas Raja Perancis Philipe le Bel dan Paus Klemens V. 

Di indonesia, pada 1945-1950an loji-loji Freemasonry oleh kaum pribumi disebut dengan "Rumah Setan" disebabkan ritual kaum Freemason selalu melakukan pemanngilan arwah orang mati. Lama-kelamaan hal ini mengusik Soekarno, Presiden RI saat itu dan pada Maret 1950 dipanggillah tokoh-tokoh Fremasonry tertinggi Hindia Belanda yang berada di Loji Adhucstat atau Loji BIntang Timur (sekarang gedung Bappenas-Menteng) untuk dimintai klarifikasi.

Para tokoh ini berkelit dan menyebutkan bahwa kata "Setan" yang disebut oleh masyarakat pribumi mungkin berasal dari pengucapan "Sin Jan" (Saint Jean) yang merupakan tokoh suci kaum Freemason. Meski demikian, Soekarno tidak diam saja.

Hingga akhirnya pada Februari 1961, lewat Lemabaran Negara nomor 18/1961, Soekarno membubarkan dan melarang keberadaan Freemasonry di Indonesia. Menyusul keluar juga Keppres Nomor 264 tahun 1962 yang membubarkan dan melarang Freemasonry dan segala turunannya seperti Liga Demokrasi, Divine Life Society, Vrijmetselaren-Logi (Loge Agung Indonesia), Ancient Mystical Organization of Rosi Crucians (AMORC), Moral Rearmament, Lions Club, Rotary Club, dan Baha'isme. Sejak itu, loji-loji mereka disita negara.

Memang, beberapa pihak menduga bahwa keluarnya Keppres ini merupakan upaya Soekarno sebagai respon atas penolakan manifesto politik-nya. Seperti yang bisa dilihat dari Peraturan Penguasa Perang Tertinggi Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1961: "Organisasi yang tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia menghambat penyelesaian Revolusi atau bertentangan dengan cita-cita Sosialisme Indonesia, dilarang."

Karena dianggap tidak relevan dengan perkembangan politik di Indonesia, maka Presiden Abdurrahamn Wahid alias Gus Dur mencabut Keppres nomor 264/1962 tadi dan mengeluarkan Keppres Nomor 69 tahun 2000 pada 23 Mei 2000.

Kenapa Freemasonry menakutkan? Karena pada tahun 1717, gerakan yang melangsungkan seminar di London di bawah pimpinan Anderson (seorang kepala gereja Protestan yang hakikatnya seorang Yahudi) ini memiliki beberapa tujuan, yaitu menhapus semua agama, menghapus sistem keluarga, menghancurkan sistem politik dunia, dan selaly berupaya untuk menghancurkan kesejahteraan manusia dan merusak kehidupan politik, ekonomi dan sosial negara-negara non Yahudi atau Goyim (sebutan dari bangsa lain di luar Yahudi).

Begitu menakutkannya tujuan Freemasonry ini bahkan sampai pihak Vatikan saja mengharamkan anggotanya untuk menjadi anggota dari organisasi-organisasi ini dan menyatakan kalau ada anggota Vatikan yang menjadi anggota maka dia akan dianggap keluar daro Kekristenan. Bebrabagi Papal Condemnation dikeluarkan untuk hal ini, salah satunya adalah Humanus Genus yang dikeluarkan Paus Leo XIII pada 1884.

Nah, kembali ke Iriana istri Jokowi. Ia sempat berkomentar bangga dengan pelantikannya. "Bangga sudah menjadi anggota kehormatan RC Solo Kartini. Apalagi kegiatan RC Solo Kartini sama dengan kegiatan PKK Surakarta. Sehingga nantinya bisa disinergikan," katanya seperti dikutip dari Harian Joglosemar. Wah, bu, mungkin ibu tidak tahu sejarahnya Rotary Club. Kalau ibu tau, mungkin ibu akan berpikir ulang saat akan dilantik menjadi anggota kehormatan. Sementara, kok bisa ya PDIP yang embrio-nya berasal dari "semangat" Soekarno ini mencalonkan Jokowi untuk Jakarta 1 yang istrinya jelas memiliki hubungan dengan organisasi yang pada zaman Soekarno jelas-jelas dilarang? Entahlah, mungkin syahwat politik telah meruntuhkan dinding idealisme dan prinsip hanya demi sebuah kekuasaan. Entahlah.

Selasa, 05 Juni 2012

Jakarta Bukan Tempat Eksperimen Jokowi



Sekitar dua bulan yang lalu, calon gubernur DKI Jakarta dari PDIP dan Gerindra Joko Widodo (Jokowi) mengungkapkan bahwa dirinya telah mempelajari masalah Jakarta, khususnya masalah transportasi massal. Ia "turun lapangan" dengan menjajali alat transportasi tersebut.

Jokowi mengaku telah mencobai busway. Katanya, "Saya sudah mencoba busway yang tujuan Blok M-Kota. Nanti saya akan coba koridor lain dan angkutan yang lain seperti mikrolet dan commuter line." Pernyataannya seperti dikutip dari situs berita kompas.com.

Menurut Jokowi, dengan turun langsung ke lapangan dan merasakan sendiri, dirinya dapat memahami yang diinginkan masyarakat dan perbaikan seperti apa yang seharusnya dilakykan agar masyarakat merasa aman dan nyaman naik angkutan umum. "Dari merasakan sendiri itu, saya jadi tahu seperti apa nanti idealnya angkutan massal ini harus beroperasi," tandasnya.

Memang nampak ada itikad baik dari Jokowi untuk mencari tahu permasalahan yang ada di Jakarta khususnya dalam bidang transportasi. Ini merupakan contoh baik yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Namun, di sisi lain jadi nampak jelas bahwa Jokowi sendiri pun masih buta akan permasalahan transportasi di Jakarta. Makanya ia berusaha mencari tahu dan meraba apa permasalahan sesungguhnya.

Sementara, Jakarta yang sudah berusia 485 tahun pada Juni 2012 ini tak butuh pemimpin yang masih dalam taraf 'melihat permasalahan', melainkan butuh pemimpin yang sudah melihat permasalahan dan memiliki solusi atas permasalahan tersebut. Jakarta bukan tempat melakukan eksperimen, justru Jakarta ini butuh formula jitu untuk menuntaskan segala bentuk masalahnya. Jakarta butuh pemimpin yang memiliki solusi matang yang diikuti kebulatan tekad untuk mewujudkannya, agar ia tak goyah manakala diterpa berbagai usulan sarat 'kepentingan' yang mengobrak-abrik konsep solusinya. 

Senin, 04 Juni 2012

Solo Belum respon Gerakan Hemat Energi Karena Kelalaian Pemimpinnya?




Beberapa waktu yang lalu Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan Gerakan Hemat Energi Nasional (GHEN), dan Juni ini waktu dimulainya. Namun, masih banyak yang mangkir akan "instruksi" Presiden ini. Salah satunya adalah jajaran pemerintah daerah  di Solo.

Hal ini lantaran media massa Solopos.com ketika berkeliling melaksanakan liputan lapangan menemui bahwa jajaran pemda Solo tidak mematikan waktu saat jam kerja. Mereka berdalih, ada yang kurang jelas matanya ketika mengetik jadi memerlukan penerangan ekstra selain hanya sinar matahari.

Mereka bukannya tidak tahu, namun mungkin masih enggan meninggalkan kebiasaannya yang lalu dan ada semacam culture shock dalam menghadapi kebijakan baru. Ini seperti diakui Kepala Dispertan Solo Weni Ekayanti dan Kepala DPU Solo Agus Witiarso. Mereka berdalih bahwa sejauh ini belum ada respon teknis pihak pemda terhadap "instruksi" Presiden tersebut dan mereka mengaku telah melakukan gerakan hemat energi dengan mematikan semua lampu ketika waktu pulang tiba.

Tidak adanya respon teknis ini mungkin terjadi akibat tidak fokus dan tidak seriusnya pimpinan daerah Solo (walikota Solo: Jokowi) dalam menurunkan "instruksi" Presiden yang masih dalam bentuk ide menjadi teknis. Mungkin juga, aktivitasnya mendekati Pilkada Jakarta dimana ia mencalonkan diri menjadi salah satu calon gubernur-nya ini telah menyedot perhatian lebih sehingga hal kecil yang sudah tercetus di jauh-jauh hari ini menjadi terlupakan dan tak tergarap. Nah, jika hal simple dan sederhana macam ini saja terlupakan, bagaimana kiranya ketika ia misalnya memimpin Jakarta - dimana sudah tidak ada hal simple dan sederhana lagi di sana? Sanggupkah ia menyelesaikan carut marut masalah di ibukota?

Railbus di Jakarta? Mimpi di Siang Bolong!



Wow, ternyata Railbus Batara Kresna yang jadi salah satu program andalan salah satu kandidat cagub DKI Jakarta asal Solo, Jokowi, tidak jelas rencana pengoperasiannya. Padahal, kabarnya alat transportasi yang dibangga-banggakan Jokowi dan kabarnya akan diterapkan di Jakarta kalau ia terpilih ini, rencananya akan beroperasi pada 20 Juni mendatang. Namun, kenyataannya, Wakil Ketua DPRD Kota Solo Supriyanto saja menyangsikannya.

Supriyanto pesimis alat transportasi ini bisa beroperasi pada 20 Juni mendatang. Menurut Supriyanto, setidaknya diperlukan waktu lebih dari dua bulan untuk mempersiapkan konsep pengoperasian railbus. Bahkan, masih menurutnya, untuk kesiapan sarana dan prasarananya akan membutuhkan waktu yang lebih dari itu.

Bahkan Supriyanto juga mengaku pihaknya belum memperoleh laporan lebih lanjut mengenai konsep pengoperasian railbus ini terkait daerah yang dilewatinya. 

"Tentu saja komunikasi dan koordinasi itu wajib untuk dilakukan. Memang PT KAI punya kewenangan mengelola, tapi ketika memasuki teritorial suatu daerah alangkah lebih baiknya dikomunikasikan dengan pemerintah di masing-masing daerah terlebih dahulu," kata Supriyanto.

Ternyata salah satu mega proyek sang walikota Solo yang mengadu nasib di Jakarta ini masih tidak jelas teknis pelaksanaannya. Jika di Solo saja proyek railbus ini tidak jelas bagaimana teknis pelaksanaannya, lalu bagaimana jika ini diterapkan di Jakarta yang jalanannya saja sudah tak selengang Solo. Proyek railbus di Jakarta nampak seperti hanya mimpi di siang bolong bagi siapapun yang mengingini keberadaan alat transportasi ini di Jakarta. Dan iming-iming proyek railbus dari salah satu kandidat cagub nampak hanya sebuah pancingan "mimpi" bagi para konstituen untuk memilihnya. Jadi, kalau mau jadi warga Jakarta yang gemar "bermimpi", pilihlah kandidat yang juga senangnya bermimpi di pesta demokrasi mendatang!